Andai Waktu Itu Masih Ada
Wajahku kembali berseri secerah pancaran mentari yang terbit dari ufuk timur di desa yang pernah aku tinggali sedari dilahirkan hingga aku Aliyah dulu, karena ketika itu aku harus meninggalkan desa dan melanjutkan Kuliyah di Al Azhar, Mesir atas beasiswa dari AlAzhar,
Kulihat beberapa parabot rumahku yang tak ada ubahnya seperti dahulu, masih ku lihat sebuah almari di ruang tamu, masih ada Televisi yang berukuran 18 inch, buku-buku turats milik bapak yang diletakkan rapi di dalan buffet, jendela rumahku juga masih bercat hijau kusam, hanya saja, ku lihat wajah dua orang yang sudah terlihat tua dengan kerutan di wajahnya berdiri di pintu dan memanggil namaku Rizal ….!!! Setelah kau tahu kalau mereka itulah bapak dan ibuku yang menunggu kedatanganku dengan cepat-cepat ku letakkan koper bawaanku, ku peluk mereka berdua, dengan tetesan air mata yang tidak dapat aku tahan, rasanya pertemuan inilah yang aku rindukan setiap saat, setiap detik ketika di cairo dulu,Ku lihat seorang cowok yang berdiri disamping bapak dan ibu, saat ku tanya siapa, ia menjawab aku adikmu kak! Aku kaget mendengar jawaban itu, benarkah seorang anak kecil sudah menjelma cowok ganteng? Ah rasanya mimpi, tapi itu bukan mimpi, itu kenyataan, ku tanyakan pada bapak dan ibu, mereka pun menganggukkan kepala, langsung ku peluk erat adikku yang sedari ku tinggalkan masih kecil itu, aku tak dapat membayangkan betapa indahnya kebahagiaan yang aku rasa saat itu.
"Zal, gimana mesir cerita gi, nak? Bapak dan ibu dah nggak sabar mendengar ceritamu" pinta bapak dan ibuk di ruang santai keluarga.
"Alhamdulillah pak, buk mesir masih seperti dahulu, masih terkenal dengan Al Azharnya, masih menjadi negeri yang banyak menelurkan para calon ulama' jawabku sabil memulai cerita tentang bagaimana kuliyahku selama di Mesir serta menceritakan bagaimana kegiatanku selama beberapa tahun di Mesir.
Minggu-minggu awal kedatanganku, aku disibukkan dengan para tamu yang berkunjung di rumahku, mulai dari tetangga, sanak saudara, sampai pada teman-teman sesekolah dulu, hanya untuk menanyakan kabar si rizal yang dulu katanya pernah mengenyam pendidikan di Al Azhar, Mesir, sebuah universitas yang menjadi idaman setiap orang yang ingin mendalami ilmu agama.
Minggu kedua, datang serombongan orang, seperti kuduga ta'mir masjid di desaku,
"Assalamu alaikum ustadz", Ucapnya
"Alaikum salam," dengan segera kujawab salamnya,
"kira-kira ada perlu apa ya?" tanyaku
"Gini ustadz," hari ini pak imam sakit dan hari jum'at depan di perkirakan beliau tidak dapat memimpin khutbah jum'at dan kami memilih antum untuk menggantikan beliau, karena setelah kami keliling tak ada yang kami anggap bisa kecuali antum, mohon ustadz tidak menolak permohonan kami ini
Aku merasa seperti orang bingung, apa aku musti menolak dulu, atau aku musti lari, bagaimana aku berkhutbah di masjid ntar, bagimana kalau aku tidak bisa, bagaimana kalau aku tidak mampu seperti yang mereka harapkan, tentu mereka akan menilai aku sebagai seorang yang di pandang sebelah mata, ah Cuma begini lulusan al Azhar, lantas dimana muka ini aku taruh? Aku belum siap menjalani semua.
Akhirnya kebingungan ini mengajakku untuk bernostalgia tentang diriku dan alAzhar, di mana ketika aku berniat pergi ke Mesir, niat pertama yang aku tanamkan aku akan rajin membaca aku akan rajin sekali kuliyah, aku akan rajin talaqqi, dan akan aku tinggalkan berbagai kesibukan yang menghambat studyku, hari pertama aku datang memang mesir tak bisa untuk di ajak bersahabat, ketika musim dingin, harus pakai jaket tebal, ketika musim panas harus pakai topi agar muka kita tidak hitam, itu pun tak menyurutkan niatku untuk menggapai apa yang aku cita-citakan,
Hari berganti hari, aku pun sibuk dengan talaqqi, sibuk dengan kegiatan kampus, sampai akhirnya aku pun terlena dengan suasana, ketika berbagai kegiatan di kalangan mahasiswa cairo berjubel menghiasi hari-hariku, aku seakan enjoy dan menikmati hal itu, aku jadi aktifis, kata teman-temanku, dimana ada kegiatan di situ ada aku, kata teman-teman memambahkan, tapi sayang seribu sayang di balik kesibukan itu bukannya hal yang positif yang aku dapatkan, bahkan muqorror belum sempat baca, akhirnya ketika ujian pun aku hanya mengandalkan ringkasan yang hanya di buat oleh teman sendiri,
Alhamdulillah aku lancar empat tahun yang dirasa begitu cepat dalam study, masih bisa lulus meskipun hanya bisa meraih prediket maqbul, tapi buatku itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan karena waktu itu banyak teman-teman ku yang tidak lulus, meski mereka rajin sekali manghadiri muhadlarah, dan rajin membaca muqorror.
----00----
"Zal, ada tamu tuh", suara ibu membuyarkan lamunanku
"Iya bu!" jawabku seraya merapikan bajuku
"Siapa bu?" Tanyaku
"Udahlah sini jangan banyak tanya, ntar juga tahu sendiri" sergah ibuku
Aku tak tahu siapa lagi yang datang ke rumahku apakah ia ingin aku menjadi seorang imam di masjid apakah aku akan di jadikannya seorang penceramah, atau bahkan aku akan di jadikan apa lagi aku tak tahu.
Diam-diam kulihat dari jendela kaca dari dalam kaca kamarku, sepertinya aku pernah kenal beliau, ha … itu kan Pak Yai Ali, ustadz yang pernah mengajarku ketika aku mondok di pesantrennya, subhanallah aku lupa mengunjugi beliau, malah belau sendiri yang mengunjungiku.
Assalamu alaikum pak yai," maaf pak, belum sempat ziarah kerumah antum. "
"Gimana kabarnya pak yai?" Tanyaku memulai pembicaraan,
"Alaikum salam, Alhamdulillah baik," jawabnya
"Gimana kabar Cairo?" Tanyanyaaa
"Alhamdulillah pak, masih seperti dulu, masih kaya akan peradaban islam, masih terkenal dengan Al Azharnya."
Kami pun akhirnya terlarut dalam obrolan panjang, yang kadang kami selingi dengan canda tawa, hingga akhirnya pak yai menawariku untuk mempersunting putri satu-satunya, dan aku pun tak bisa menolak atas permintaannya itu. Dan akhirnya keluarga kamipun menyetujui pernikahan kami.
---00---
Lagu hubbu ahmadi sholawat langitan terputar dengan dentuman sound system, kursi pengantin dihias rapi dengan bunga, dan berbagai ciri khas walimah di daeah jawa menghisai acara walimah kami.
Ijab Kabulpun di mulai, di ucapkannya kata ijab oleh pak yai Ali,, dan kemudian dilanjutkan kata Kabul dariku. Kami kemudian duduk di atas kursi kehormatan sang mempelai, berduyun-duyun teman-temanku dari Cairo datang untuk memberi ucapan selamat, dan banyak dari tamu-tamu istimewa pak Yai Ali, mulai dari kalangan Kiyai-kiyai sepuh di daerahku, sampai Kiyai diluar daerah, karena pak Yai orangnya banyak kenalan.
---00---
Alhamdulillah aku telah resmi menjadi menantu dari Pak Yai Ali, awalnya aku sangat senang bisa menjadi menantu beliau, karena cita-cita dan do'aku akhirnya terkabul, bisa mempunyai istri dari anak kiyai, namun dibalik kesenangan itu ada beban yang sangat berat terbesit di pikiranku.
Akhir-akhir ini pak yai sakit-sakitan bahkan sering tidak mengajar di pesantren, mungkin karena usianya yang sudah lanjut, akhirnya mau tidak mau aku juga yang harus menggantikan beliau disaat beliau sedang sakit, memang sebelumnya aku juga sempat menolak karena seperti yang ku ceritakan tadi aku belum siap, aku masih takut, bagaimana tidak, muqorror aja tidak pernah baca, belajar hanya ketika mau ada ujian, itupun hanya mengandalkan ringkasan toh di Al azhar juga tak ada yang namanya disuruh ngajar anak-anak, di Alazhar tak ada yang namanya praktek mensholati mayat, memandikan mayat, di Alazhar tak ada yang namanya menjadi seorang khutbah di masjid, namun realita inilah yang aku hadapi saat ini,
Pada akhirnya aku harus memulai hidupku dari nol, mulai belajar dari semua hal, mulai belajar bagaimana menghukumi suatu masalah yang setiap kali datang dari masyarakat dan menanyai bagaimana hukumnya cloning, bagaimana hukumnya mendengarkan musik, dan lain sebagainya, tak jarang istriku yang menjawab pertanyaan itu, karena dia lebih pintar dalam masalah agama dari padaku yang notabene lulusan Alazhar. Oh, betapa malunya aku, kenapa istriku yang menjawabnya bukan aku, bukankah seharusnya suami lebih pandai dari pada sang istri, akhirnya istriku lah yang mengajariku bagaimana cara memberi fatwa kepada orang lain, bagaimana cara mengistimbatkan sebuah hukum, oh betapa malunya aku, andai waktu itu masih ada, tentu aku akan rajin membaca, dan mengkaji ilmu-ilmu islam dan tidak hanya sibuk dengan organisasi yang membuatku jadi seperti ini.
Kulihat beberapa parabot rumahku yang tak ada ubahnya seperti dahulu, masih ku lihat sebuah almari di ruang tamu, masih ada Televisi yang berukuran 18 inch, buku-buku turats milik bapak yang diletakkan rapi di dalan buffet, jendela rumahku juga masih bercat hijau kusam, hanya saja, ku lihat wajah dua orang yang sudah terlihat tua dengan kerutan di wajahnya berdiri di pintu dan memanggil namaku Rizal ….!!! Setelah kau tahu kalau mereka itulah bapak dan ibuku yang menunggu kedatanganku dengan cepat-cepat ku letakkan koper bawaanku, ku peluk mereka berdua, dengan tetesan air mata yang tidak dapat aku tahan, rasanya pertemuan inilah yang aku rindukan setiap saat, setiap detik ketika di cairo dulu,Ku lihat seorang cowok yang berdiri disamping bapak dan ibu, saat ku tanya siapa, ia menjawab aku adikmu kak! Aku kaget mendengar jawaban itu, benarkah seorang anak kecil sudah menjelma cowok ganteng? Ah rasanya mimpi, tapi itu bukan mimpi, itu kenyataan, ku tanyakan pada bapak dan ibu, mereka pun menganggukkan kepala, langsung ku peluk erat adikku yang sedari ku tinggalkan masih kecil itu, aku tak dapat membayangkan betapa indahnya kebahagiaan yang aku rasa saat itu.
"Zal, gimana mesir cerita gi, nak? Bapak dan ibu dah nggak sabar mendengar ceritamu" pinta bapak dan ibuk di ruang santai keluarga.
"Alhamdulillah pak, buk mesir masih seperti dahulu, masih terkenal dengan Al Azharnya, masih menjadi negeri yang banyak menelurkan para calon ulama' jawabku sabil memulai cerita tentang bagaimana kuliyahku selama di Mesir serta menceritakan bagaimana kegiatanku selama beberapa tahun di Mesir.
Minggu-minggu awal kedatanganku, aku disibukkan dengan para tamu yang berkunjung di rumahku, mulai dari tetangga, sanak saudara, sampai pada teman-teman sesekolah dulu, hanya untuk menanyakan kabar si rizal yang dulu katanya pernah mengenyam pendidikan di Al Azhar, Mesir, sebuah universitas yang menjadi idaman setiap orang yang ingin mendalami ilmu agama.
Minggu kedua, datang serombongan orang, seperti kuduga ta'mir masjid di desaku,
"Assalamu alaikum ustadz", Ucapnya
"Alaikum salam," dengan segera kujawab salamnya,
"kira-kira ada perlu apa ya?" tanyaku
"Gini ustadz," hari ini pak imam sakit dan hari jum'at depan di perkirakan beliau tidak dapat memimpin khutbah jum'at dan kami memilih antum untuk menggantikan beliau, karena setelah kami keliling tak ada yang kami anggap bisa kecuali antum, mohon ustadz tidak menolak permohonan kami ini
Aku merasa seperti orang bingung, apa aku musti menolak dulu, atau aku musti lari, bagaimana aku berkhutbah di masjid ntar, bagimana kalau aku tidak bisa, bagaimana kalau aku tidak mampu seperti yang mereka harapkan, tentu mereka akan menilai aku sebagai seorang yang di pandang sebelah mata, ah Cuma begini lulusan al Azhar, lantas dimana muka ini aku taruh? Aku belum siap menjalani semua.
Akhirnya kebingungan ini mengajakku untuk bernostalgia tentang diriku dan alAzhar, di mana ketika aku berniat pergi ke Mesir, niat pertama yang aku tanamkan aku akan rajin membaca aku akan rajin sekali kuliyah, aku akan rajin talaqqi, dan akan aku tinggalkan berbagai kesibukan yang menghambat studyku, hari pertama aku datang memang mesir tak bisa untuk di ajak bersahabat, ketika musim dingin, harus pakai jaket tebal, ketika musim panas harus pakai topi agar muka kita tidak hitam, itu pun tak menyurutkan niatku untuk menggapai apa yang aku cita-citakan,
Hari berganti hari, aku pun sibuk dengan talaqqi, sibuk dengan kegiatan kampus, sampai akhirnya aku pun terlena dengan suasana, ketika berbagai kegiatan di kalangan mahasiswa cairo berjubel menghiasi hari-hariku, aku seakan enjoy dan menikmati hal itu, aku jadi aktifis, kata teman-temanku, dimana ada kegiatan di situ ada aku, kata teman-teman memambahkan, tapi sayang seribu sayang di balik kesibukan itu bukannya hal yang positif yang aku dapatkan, bahkan muqorror belum sempat baca, akhirnya ketika ujian pun aku hanya mengandalkan ringkasan yang hanya di buat oleh teman sendiri,
Alhamdulillah aku lancar empat tahun yang dirasa begitu cepat dalam study, masih bisa lulus meskipun hanya bisa meraih prediket maqbul, tapi buatku itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan karena waktu itu banyak teman-teman ku yang tidak lulus, meski mereka rajin sekali manghadiri muhadlarah, dan rajin membaca muqorror.
----00----
"Zal, ada tamu tuh", suara ibu membuyarkan lamunanku
"Iya bu!" jawabku seraya merapikan bajuku
"Siapa bu?" Tanyaku
"Udahlah sini jangan banyak tanya, ntar juga tahu sendiri" sergah ibuku
Aku tak tahu siapa lagi yang datang ke rumahku apakah ia ingin aku menjadi seorang imam di masjid apakah aku akan di jadikannya seorang penceramah, atau bahkan aku akan di jadikan apa lagi aku tak tahu.
Diam-diam kulihat dari jendela kaca dari dalam kaca kamarku, sepertinya aku pernah kenal beliau, ha … itu kan Pak Yai Ali, ustadz yang pernah mengajarku ketika aku mondok di pesantrennya, subhanallah aku lupa mengunjugi beliau, malah belau sendiri yang mengunjungiku.
Assalamu alaikum pak yai," maaf pak, belum sempat ziarah kerumah antum. "
"Gimana kabarnya pak yai?" Tanyaku memulai pembicaraan,
"Alaikum salam, Alhamdulillah baik," jawabnya
"Gimana kabar Cairo?" Tanyanyaaa
"Alhamdulillah pak, masih seperti dulu, masih kaya akan peradaban islam, masih terkenal dengan Al Azharnya."
Kami pun akhirnya terlarut dalam obrolan panjang, yang kadang kami selingi dengan canda tawa, hingga akhirnya pak yai menawariku untuk mempersunting putri satu-satunya, dan aku pun tak bisa menolak atas permintaannya itu. Dan akhirnya keluarga kamipun menyetujui pernikahan kami.
---00---
Lagu hubbu ahmadi sholawat langitan terputar dengan dentuman sound system, kursi pengantin dihias rapi dengan bunga, dan berbagai ciri khas walimah di daeah jawa menghisai acara walimah kami.
Ijab Kabulpun di mulai, di ucapkannya kata ijab oleh pak yai Ali,, dan kemudian dilanjutkan kata Kabul dariku. Kami kemudian duduk di atas kursi kehormatan sang mempelai, berduyun-duyun teman-temanku dari Cairo datang untuk memberi ucapan selamat, dan banyak dari tamu-tamu istimewa pak Yai Ali, mulai dari kalangan Kiyai-kiyai sepuh di daerahku, sampai Kiyai diluar daerah, karena pak Yai orangnya banyak kenalan.
---00---
Alhamdulillah aku telah resmi menjadi menantu dari Pak Yai Ali, awalnya aku sangat senang bisa menjadi menantu beliau, karena cita-cita dan do'aku akhirnya terkabul, bisa mempunyai istri dari anak kiyai, namun dibalik kesenangan itu ada beban yang sangat berat terbesit di pikiranku.
Akhir-akhir ini pak yai sakit-sakitan bahkan sering tidak mengajar di pesantren, mungkin karena usianya yang sudah lanjut, akhirnya mau tidak mau aku juga yang harus menggantikan beliau disaat beliau sedang sakit, memang sebelumnya aku juga sempat menolak karena seperti yang ku ceritakan tadi aku belum siap, aku masih takut, bagaimana tidak, muqorror aja tidak pernah baca, belajar hanya ketika mau ada ujian, itupun hanya mengandalkan ringkasan toh di Al azhar juga tak ada yang namanya disuruh ngajar anak-anak, di Alazhar tak ada yang namanya praktek mensholati mayat, memandikan mayat, di Alazhar tak ada yang namanya menjadi seorang khutbah di masjid, namun realita inilah yang aku hadapi saat ini,
Pada akhirnya aku harus memulai hidupku dari nol, mulai belajar dari semua hal, mulai belajar bagaimana menghukumi suatu masalah yang setiap kali datang dari masyarakat dan menanyai bagaimana hukumnya cloning, bagaimana hukumnya mendengarkan musik, dan lain sebagainya, tak jarang istriku yang menjawab pertanyaan itu, karena dia lebih pintar dalam masalah agama dari padaku yang notabene lulusan Alazhar. Oh, betapa malunya aku, kenapa istriku yang menjawabnya bukan aku, bukankah seharusnya suami lebih pandai dari pada sang istri, akhirnya istriku lah yang mengajariku bagaimana cara memberi fatwa kepada orang lain, bagaimana cara mengistimbatkan sebuah hukum, oh betapa malunya aku, andai waktu itu masih ada, tentu aku akan rajin membaca, dan mengkaji ilmu-ilmu islam dan tidak hanya sibuk dengan organisasi yang membuatku jadi seperti ini.
Published: 2008-04-18T22:49:00-07:00
Title:Andai Waktu Itu Masih Ada
Rating: 5 On 221210 reviews
POSTINGAN LAIN YANG MUNGKIN ANDA SUKA
Posted by Yonke-Blogger at 10:49 PM
0 comments:
Post a Comment