Cukup Lima Puluh Real Saja
Judul simpel itu, terasa jelas untuk menggambarkan betapa sedih, kaget atau bahkan merasa malu sebagai WNI untuk mendengarkan fenomena baru-baru ini, ternyata untuk mencicipi tubuh wanita Indonesia cukup murah, hanya dengan membayar lima puluh real saja, hal itu bukan saja memekakkan telinga atau menyulutkan kemarahan kita, lebih-lebih praktek ini dilakukan di Negara bukan Negara kita sendiri, di Negara dollar minyak, Saudi Arabia, bahkan ironisnya lagi, fenomena seperti itu di kuatkan dengan otoritas fatwa ulama
Isah Noer (24) salah satu sederetan nama yang menjadi jajanan para pria Arab, janda yang menjadikan nikah bi niyyat at-thalaq sebagai pekerjaannya, setelah dulunya menjadi istri dari mantan suaminya, pria Arab yang pernah menikahinya kemudian setelah beberapa lama menjalani bahtera keluarga si pria itu menceraikannya, lantas apa yang salah dari semua itu, toh si suami itu juga punya otoritas cerai? pria itu ternyata hanya berpegang pada sebuah fatwa yang membolehkan nikah dengan bertujuan untuk menceraikan si calon istri yang di keluarkan oleh Haiah Kibar Ulama’ atau MUI Saudi yang waktu itu di ketuai oleh Bin Baz, Si Isah pun tidak tahu menahu tentang kenapa suaminya tiba-tiba menceraikannya, usut demi usut ternyata ia mengikuti pendapat yang membolehkan nikah seperti itu.
Yang saya janggalkan disini adalah tentang Fatwa semacam ini, kok bisa-bisanya fatwa yang secara rasional jauh dari kemaslahatan itu, menjadi kesepakatan konsesus kibarul Ulama’? pada hal fatwa itu sangat bertentangan sekali pada prinsip dan pokok ajaran islam, serta prinsip dan metode memberikan sebuah fatwa, di antaranya fatwa itu harus melihat kemaslahatan kaum muslimin tanpa ada batas-batas pemisah, baik itu penduduk asli atau bukan?
Saya hanya ingin menggaris bawahi tentang fatwa yang buat saya aneh itu, tentang bagaimana seharusnya sebuah fatwa itu bisa menjadi legalitas hukum islam yang tentu dengan konsekuensi bahwasannya umat islam wajib mentaati fatwa itu, apa dan bagaimana hakikat fatwa itu?
Dalam islam fatwa menduduki sebuah posisi penting, karena dengan fatwa itulah keotentikan hukum dan kemurnian hukum islam dapat terjaga dengan baik, otoritas fatwapun tidak semua orang dapat melakukannya, ia hanya di berikan kepada orang yang telah mempunyai kapabel dalam mengistimbatkan hukum dari sumbernya, dengan menggunakan metode isthimbatul Ushul Ahkam yang telah di gariskan oleh islam itu sendiri. Fatwa bisa bersifat per-individu atau kolektif seperti MUI, fatwa individu (fatwa untuk diri sendiri) sifatnya merupakan pendapat atau hasil ijtihad dari seseorang saat ia mampu mencapai tingkatan Mujtahid, inilh yang di singgung hadits yang menyatakan jika seseorang mujtahid itu benar dalam ijtihadnya maka dia akan mendapatkan dua pahala. dan jika dia salah dalam berijtihad maka ia akan mendapatkan satu pahala.
Sebagai orang awam, sikap yang di anjurkan oleh islam adalah mengikuti orang yang dimintai fatwa olehnya itu, dengan keringanan untuk bebas memilih pendapat mana yang di sukainya, berbeda dengan orang yang mempunya kapabelitas dalam berijtihad, ia di haruskan sekuat tenaganya mencurahkan segenap kemampuan untuk mengeluatrkan pendapatnya berdasar dalil yang ada.
Orang yang memberi fatwa itupun (jika ia adalah perwakilan fatwa sebuah wilayah, seperti MUI) tidak cukup seenaknya sendiri, maka di syaratkanlah baginya untuk membuat fatwa itu sedetail mungkin dan mampu memberikan solusi kongkrit bukan malam membuat orang lain bingung serta dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan kultural, sehingga di harapkan nanti tidak gegabah dalam produk fatwa yang di hasilkan kelak.
Rasanya syarat yang terakhir inilah terasa rigid dalam kaitannya Fatwa Kibarul Ulama Su’udi ini, fatwa ini terkesan menghalalkan nikah mut’ah, nikah yang sudah jelas-jelas di haramkan dalam agama, nikah yang hanya memuaskan hawa nafsu kaum lelaki saja. saya sendiri kurang tahu persis apakah yang melatar belakangi di keluarkannya fatwa ini, saya lantas mencoba berhusnudz-dzon saja, mungkin ketika itu ada beberapa maslahat yang lebih di periotaskan dengan menggugurkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang ada, tapi saya kok merasa sulit untuk sekedar berhusnuddzon, yang namanya zina itu ya haram, apa lagi di legalkan untuk menjustifikasi zina itu, yang ada malah prostitusi bertebaran di mana-mana kata hati saya menguatkan.
Dengan menafikan ke-husnuzzon saya tadi, saya kira fatwa memang sifatnya berubah-ubah sesuai kondisi waktu yang ada, jika ada fatwa yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada, fatwa itu lah yang harus tunduk pada kondisi, serta zaman yang ada. jadi sangat benarlah apa yang dilakukan oleh Kepala Bidang Pembimbingan Masyarakat (Qism ar-Ra'aya) Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta untuk mendesak Badan Pembesar Ulama (Hay'ah Kubbar al-Ulama) kerajaan petro dollar tersebut untuk mengeluarkan fatwa baru yang menyikapi maraknya fenomena "pernikahan" para lelaki Saudi dengan perempuan Indonesia "yang diniatkan adanya talak (cerai) setelahnya" (nikah bi niyyat at-thalaq).
Saya teringat pada tahun lalu produser perfilman Indonesia mengeluarkan film dengan judul Kawin Kontrak, film yang konon kata kawan saya sangat tidak memuliakan kaum hawa, menceritakan tentang tiga anak muda yang melakukan kawin kontrak di daerah Jawa Barat. Kurang lebih seperti itulah gambaran umum fenomena yang di hadapi oleh para TKW saat ini, mereka terpaksa harus memakan buah simalakama saat menjumpai betapa sulitnya mencari pekerjaan di negeri orang sementara pada satu waktu dilema pula oleh kondisi ekonomi yang begitu mendesak, dengan menjual harga dirinya cukup dengan 50 real saja, dirasa meringankan beban mereka yang di pikul. Wallahu A’lam bisshowab
Published: 2009-04-17T03:58:00-07:00
Title:Cukup Lima Puluh Real Saja
Rating: 5 On 221210 reviews
POSTINGAN LAIN YANG MUNGKIN ANDA SUKA
Posted by Yonke-Blogger at 3:58 AM
Dapatkan Kaedah Menjadi Pasangan Hebat di http://bitly.com/hebatdikamar
ReplyDelete