Tentangku tentangmu, Tentang Mimpi Yang tak Sempurna
Hadirnya dirimu akan diriku ternyata aku rindukan, rasa ingin engkau kembali mengusik hidupku ternyata begitu membekas, bukan karena apa-apa, mungkin karena engkau pernah menjadi bagian dari hidupku, pernah menyatu dalam satu kesatuan tubuh, pernah menemani melangkah dalam derap kaki merajut mimpi bersama di negeri cinta, negeri seribu menara, dan inilah jawaban yang mampu ku berikan tentang sms-sms mu selama ini, tentang inbox-inbox mu yang tertulis di ponsel dan facebook. Tulisan tulisan itu hanya bisa kubaca ulang. Karena saat ini aku tak tahu harus menuliskannya kembali kepada siapa kecuali kepada hati yang kosong, dan tanpa arti bahkan, mungkin tulisan-tulisan itu juga sudah tiada makna sama sekali, seperti yang dulu pernah ku tuliskan untukku.
Hari ini tak sengaja pandanganku terfokus pada HP kesayanganku yang ku taruh di atas meja belajar, sebenarnya tak ingin aku menyentuh HP itu, karena selain setiap hari Handphone itu selalu ku bawa kemana-mana, juga tak ada yang istimewa dengannya, terlebih filter layar sentuhnya juga sudah mulai mengelupas, awalnya aku hanya ingin merebahkan tubuhku saja di kasur kamarku, setelah seharian penuh bergulat dengan Muqorror yang begitu sulit, akan tetapi begitu melihat kamarku yang berantakan, kertas-kertas bertebaran, buku-buku bertindihan, bergegas ku bersihkan kamarku yang kurang enak dilihat itu, hingga pandanganku tertuju pada handphone itu, tak seperti biasa ia terlihat begitu unik dan menarik untuk aku sentuh.
Inilah kamarku, tempat segalanya buatku, tempat aku terlelap, tempat aku merajut mimpi, tempatku belajar, tempatku menumpahkan bahagia maupun duka dengan kawan-kawan satu kos, lima meter persegi, buatku begitu luas, untuk sekedar memulai langkah kaki, kembali menapaki kehidupan esok yang penuh dengan misteri.
Di penghujung hari ini, aku sudah selesai menyelesaikan target-target harian, aku sudah mulai bisa mengatur waktuku, memisahkan antara murojaah alqur’an dan diktat kuliah, pandanganku kembali tertuju pada Handphone N8-ku yang ku taruh di atas meja, rasanya ada sedikit nafas yang tertahan tiap kali aku membuka salah satu inbox message di sana, aku sangat takut kalau saja satu folder message terdelete tanpa sengaja, terlebih hpku touch screen, sangat rentan untuk terpencet tanpa sepengetahuanku, aku sangat berhati-hati dengannya. Ku lihat kondisi HP ku, satu persatu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan, baru saja kemarin original earphone nya sudah tidak berfungsi lagi, akhinya aku putuskan untuk menggantinya dengan yang baru, tak tahu nanti apa lagi yang akan rusak, bateraikah? layarkah? atau bahkan kenangan-kenangan yang tersimpan disana, aku tidak tahu.
Aku kembali me-review pesan-pesan darimu, pesan yang selalu membuatku marah saat orang lain menyentuh HP tanpa sepengetahuanku, hingga tanpa aku sadari aku sering tersenyum sendiri menikmati kata demi kata yang pernah engkau tulis untukku, di sanalah begitu jelas semua masa lalu, masa lalu yang mampu aku hadirkan dalam sekejap dalam ingatanku. Mudah saja bagiku mengenang segalanya hanya lewat pesan-pesan yang pernah engkau tulis itu, karena pernah ada suatu kehidupan semu yang membekas disana.
Pesan-pesan dari mu, akhir-akhir ini aku kembali membacanya, sering aku buka kembali ketika aku sedang sendiri. Sering aku berfikir “benarkah semua yang engkau tulis itu untukku?” owh, betapa manisnya kata-kata yang tertulis dalam pesan-pesan itu. Dan mungkin deretan kata-kata itulah yang mampu membuatku bertahan untuk menghadirkan masa-masa itu. Meski masa-masa itu belum terlalu lama terjadi padaku tetapi aku merasa telah kehilangan lembaran buku sejarah cintamu. Atau memang engkau enggan menulis lagi untukku. Atau aku yang memang sudah tidak lagi berhak atas untaian kata indahmu.
Malam yang sunyi ini, kembali aku baca tulisan-tulisan dalam pesanmu itu, tuntas ku baca semua pesanmu yang ku abadikan mulai dari awal perjumpaan kita hingga saat terakhir kau mengucapkan perpisahan kala itu, ah, barang kali aku saja yang terlalu mendramatisir kenangan-kenangan itu, malam selarut ini, tak bisa aku palingkan mataku pada huruf-huruf mati yang dulu pernah hidup, engkau yang sangat mengerti betapa aku mencintaimu, engkau yang mengerti betapa aku bukan siapa-siapa, engkau yang dulu selalu berkata ada istana cinta di ujung prahara, engkau yang mengajariku arti bagaimana agama mengatur perasaan manusia. Engkau yang mengajariku untuk bermimpi setinggi-tingginya, hingga membuatku harus merasakan kembali bagaimana terjatuh dari tebing yang tinggi, Aku harus bergulir dalam jurang yang semakin dalam, hingga tubuhku hancur tenggelam. Saat ku tersedar ku dapati kau sudah jauh meninggalkanku.
Engkau yang mengajariku untuk tidak pernah mengenal rasa “minder”, sebab itulah aku beranikan diri untuk membuka lembaran kenangan yang pernah kita lalui bersama, aku biarkan Kristal mengalir menyesali ke-pecundangan-ku, tapi aku lelaki, pantang untuk meneteskan air mata. Sungguh malam ini tak seperti biasanya, malam yang membuatku dengan mudah flash back dengan kenangan-kenangan di waktu itu.
Tanpa aku sadari aku berada dalam sebuah kereta, entah mengapa keretanya berjalan begitu lambat, perjalananpun terasa begitu lama, suara yang ku dengar adalah roda kereta berputar sedikit demi sedikit, sebelumnya aku tidak tahu kalau kereta itu memang selalu penuh, kamulah yang mengajakku untuk menaiki kereta itu, suasana di dalam kereta begitu pengap dan bising, aku pun selalu ingin muntah karena berdesak-desakan dengan orang-orang yang tak ku kenal, berdesakan dengan berbagai macam tipe manusia di sana, sungguh aku benar-benar tidak tahan berlama-lama di dalam gerbong kereta itu, sering aku katakan padamu saat itu, pada hal sebelumnya kau bilang padaku bahwa perjalanan ini akan menyenangkan, dan mengesankan. Dan itu benar, sungguh berkesan, sampai-sampai baru beberapa kilo meter saja diriku sudah ingin muntah.
Tapi kau memandangku dengan tersenyum, kau bilang kalau ingin muntah, muntahkan saja di hamam yang terletak di ujung gerbong, aku merasa itu adalah lelucon yang paling tidak lucu untuk aku perdengarkan, bagaimana mungkin aku pergi ke ujung gerbong berdesak desakan dengan dengan puluhan anak manusia ada di dalam sana, bisa naik saja sudah beruntung, itu yang pernah kamu katakan padaku, bahkan kau bilang kita akan tertinggal jika tidak naik. Namun sepertinya kau sudah terbiasa dengan suasana seperti ini, namun aku tidak.
Kereta terus melaju kencang, suara gesekan roda dan rel begitu keras, tak terasa aku semakin terbiasa dengan ke-sumpek-an dalam kereta itu, mungkin karena udara luar yang begitu sejuk sehingga bau pengap pun tak tercium lagi, mungkin juga karena aku sudah terlanjur terbiasa mendengarkan teriakan-teriakan dalam kereta itu, akupun tidak menyangka aku mampu berdiam lama dalam kereta itu, mungkin karena kau selalu mengajariku untuk selalu menikmati setiap perjalanan, engkau pinjamkan earphonemu padaku untuk kau perdengarkan nasyid-nasyid yang merdu sehingga suasanapun menjadi seteduh lagu-lagu itu, kau juga selalu bilang kepadaku bahwa perjalanan tidak akan lama, karena tidak lama lagi kita akan sampai pada stasiun yang kita tuju.
Mungkin aku terlalu menikmati perjalanan itu, sehingga semuanya berubah menjadi menyenangkan untukku menaiki kereta itu. Tak jarang kereta itu berjalan terasa oleng, tapi engkau selalu mengajariku untuk selalu mengingat-Nya, supaya hati terasa tenang, agar teringat bahwa kehidupan ini ada yang mengatur, sering kali kereta melaju kencang, aku semakin khawatir jikalau gerbong kereta melesat dari rel, engkaupun kembali mengingatkanku bahwa segala sesuatu yang kita lakukan pasti ada tempat dan masa berakhir, persiapkanlah bekal ke sana, supaya suatu saat nanti kita tidak menjadi orang yang menyesal dan benar-benar siap ketika sebuah pertanggung jawaban itu di minta, sering kali kereta bergetar, sehingga tubuhku pun ikut bergetar, bahkan tak jarang aku mengalami rasa sakit, kembali engkau berikan bahumu untuk aku bersandar. Sampai akhirnya aku benar-benar merasa nyaman untuk menikmati perjalanan panjang ini.
Kau bilang, ”Jangan khawatir” saat kita sedang melewati lorong gelap yang panjang. Aku teringat saat engkau menenangkan penumpang lain yang juga ketakutan lebih dari pada aku. Kembali engkau membuatku mengerti tentang arti persaudaraan, saling menolong, saling berbagi. Meski dengan seseorang yang belum kita kenal sekalipun.
Sampai akhirnya kulihat senyum wajah sumringah dari mereka. Namun banyak pula yang memilih untuk turun di stasiun trasit. Mereka bilang sumpek. Mereka bilang pusing, mereka bilang tidak nyaman. Mereka bilang menyesal menaiki gerbong itu. Ada yang bilang telah capek dan tidak sanggup lagi berdiri. Banyak merasa sesak nafas. Dan mereka memilih untuk turun. Bukannya memilih untuk sejenak beristirahat untuk menghirup udara segar, membeli hagah sa’ah atau sibsi, tetapi mereka memilih untuk menyudahi perjalanan mereka.
Saat itu aku juga menginginkan untuk berhenti, tapi kau bilang padaku kalau aku tak boleh turun dan menghirup udara segar, alasanmu cukup logis, kau takut aku tertinggal kereta, toh waktu istirahat nya juga tidak terlalu lama, akhirnya aku cukupkan menikmati sejukkanya angin stasiun dari pintu gerbong kereta.
Namun lagi-lagi engkau membuatku merasa gelisah dan khawatir. Kau membuatku kembali merasakan ketakutan. Saat aku melihatmu, tiba-tiba engkau turun menenteng tas dipunggungmu, meninggalkanku di saat aku menikmati mimpi-mimpi di tengah perjalanan yang begitu nyaman. Kau ambil ear-phone yang engkau pinjamkan. Engkau ulurkan tanganmu dan mengucap kata perpisahan. Aku tahu engkau akan pergi meninggalkan aku. Kau ucapkan kata maaf untuk segala yang pernah aku rasakan saat denganmu. Sungguh kata perpisahan yang sangat menggores hati.
Sebelumnya engkau pernah bilang kepadaku bahwa engkau harus berpindah gerbong. Betapa aku sangat merasa sedih saat kau katakan “aku tidak bisa satu gerbong lagi denganmu”. Aku mulai berfikir sesuatu yang buruk akan kembali menimpaku. Siapa nanti yang akan meminjamkan ear-phone padaku? Siapa nanti yang akan merelakan dirinya untuk menopangku saat kereta melaju terlalu kencang? Siapa lagi yang akan menasehatkan cerita-cerita surga saatku terlalai? Siapa lagi nanti yang akan mengingatkanku kepada sang pencipta saat kereta oleng? Siapa yang nanti akan merelakan pundakknya untuk aku rebahkan kepalaku karena ketakutan? Aku katakan padamu, aku takut sendiri.
Kau menunjuk untukku orang-orang yang tidak aku kenal. Kau katakan bahwa mereka yang akan tetap menemani perjalananku dalam gerbong yang sama. Dan juga orang-orang lain yang hendak naik dari stasiun pemberhentian itu. Kau membuatku semakin frustasi. Kau tahu bahwa aku bukanlah tipe orang yang mudah menerima kehadiran orang asing dalam hidupku, kau tahu aku orang yang sukar beradaptasi dengan kebisingan. Bagaimana nanti aku dalam gerbong itu?
Jujur, rasanya aku tidak ingin lagi naik dalam gerbong yang bising itu. Kau bilang hanya orang-orang yang kuat yang mampu melewati lorong-lorong selanjutnya. Meski berulang kali engkau meyakinkan aku, tetap saja aku tidak juga naik memasuki gerbong keretaku. Sampai sirine keberangkatan kereta telah terdengar, kau dan aku masih tetap berdebat. Aku katakan “aku tidak ingin naik lagi”. Akan tetapi lagi-lagi engkau meyakinkan aku untuk naik. Berkali-kali kau paksa aku untuk segera naik tapi aku hanya menggelengkan kepala, tidak.
Sirine keberangkatan telah berakhir. Roda kereta mulai berputar perlahan dan engkau terlihat sangat cemas. Kau katakan lagi padaku kalau aku harus naik. Tetapi aku hanya memandang gerbongku dengan tatapan bisu. Aku katakan “aku takut!!!”.
”Kau harus tetap naik!” Kau teriakkan kata-kata itu padaku.
”Tidak, aku takut!” Teriakku.
”Naiklah! Buruan!” Kau lambaikan tangan dan berlari menuju gerbong barumu.
Aku masih ragu untuk menatap roda yang mulai berputar. Aku melihat senyuman dari mereka yang telah ada dalam sesaknya ruang kereta. Seseorang mengulurkan tangan dan memintaku untuk menerimanya. Meski masih dalam keraguan, akhirnya aku naik juga. Dan kini aku telah kembali berada dalam kereta yang semakin penuh dan sesak.
Meski terasa semakin berdesak desakan, rasanya aku telah terbiasa dengan suasana seperti ini. Aku sudah mulai mengerti caranya beradaptasi. Berlahan aku mulai mengajari mereka yang baru saja naik. Mereka juga ada yang sakit kepala, ada yang muntah, bahkan ada yang pingsan. Sayangnya tidak ada tenaga medis disini. Beruntung kau pernah mengajariku cara menjadi dokter dadakan. Beruntung kau pernah mengajari aku bercanda meski hanya untuk sekedar penghibur dalam penatnya suasana. Terimakasih telah mengajari aku begitu banyak hal dalam perjalanan ini.
Terimakasih untuk segala yang telah engkau berikan, earphone yang telah engkau perdengarkan, pundak yang telah engkau pinjamkan. Semua itu berguna dalam hidupku, aku merasa engkau telah mengajariku tentang banyak hal tentang hidup, tentang cinta. Bahkan sering engkau transfer energi dan semangatmu untukku yang sering lemas selama perjalanan.
Stasiun transit selanjutnya, sudah saatnya untuk aku turun dari gerbong kereta. Ku lihat gerbong yang lain di sekeliling stasiun, berharap menemukanmu untuk sejenak kita bicara. Namun ternyata senyuman itu hilang bersama ratusan anak manusia yang hilang entah kemana.
Kembali aku memandang gerbong keretaku. Ada rasa sedih untukku meninggalkannya. Ada rasa ketidak-tegaan saat aku harus melepaskannya. Bagaimana nanti mereka yang ada disana? Sedangkan lorong selanjutnya akan memiliki medan yang jauh berbeda. Seperti biasa, ada yang harus turun dan ada yang tetap tinggal, juga ada yang harus naik. Ada yang harus berganti gerbong juga untuk melanjutkan perjalanan. Tetaplah aku tinggalkankan kereta yang telah memberi begitu banyak pelajaran. Aku mencoba tidak memandangnya lagi, mungkin hati ini masih takut untuk kehilangan. Tetapi apalah daya, sudah menjadi kelazimanku untuk berganti kereta, demi melanjutkan perjalanan menuju stasiun kehidupanku yang tidak kunjung sampai. Dalam hati aku berkata “Semoga saja aku akan mampu kembali kesana dan aku dapatkan lagi tiket untuk naik kereta yang sama denganmu”.
Sebenarnya di stasiun ini hendak aku mengajakmu untuk berkunjung ke suatu tempat, sebuah bangunan yang sering ku jadikan rujukan inspirasiku, sengaja aku tidak menceritakannya kepadamu, karena aku ingin kamu melihatnya sendiri, barang kali ada ketertarikan konsep bangunan atau sistematika yang ada di sana. Sering penduduk sekitar menyebutnya dengan sebutan al-azhar mosque, masjid itu terletak bersebelahan dengan uiversitas sunni tertua di dunia, al azhar assyarif. Bagiku ia sangatlah menakjubkan, dua buah menara menjulang tinggi, dengan kubah yang begitu serasi, beberapa ruang yang tak pernah kosong dengan lantunan kalam Ilahi, konon beberapa ratus tahun yang lalu disinilah peradaban islam di mulai, peradaban yang memunculkan mujaddid di belahan dunia. Aku sering melamun di sana tiap kali aku jenuh dengan aktifitas, buatku al azhar bukanlah sekedar bangunan, al azhar lah sebenarnya kehidupan. Ia selalu menarik di pandang dari kaca mata manapun terlebih dengan nuansa keislaman begitu kental sering ku rasakan disana. Aku sering berandai-andai suatu saat bisa membuat replika al azhar denganmu, di suatu prahara yang jauh di sana, miniartur yang indah, penuh dengan pesona cinta, beratapkan ketakwaan, berlandaskan keimanan. Aku sangat cinta pada al azhar, aku juga sangat cinta padamu, aku sangat terkagum-kagum dengannya aku juga terlalu mengagumi, maa hadza basyara, in hadza illa malakun karim begitu kata para wanita, kawan-kwan istri azizu masr. Tak terbayangkan nanti jika aku terpisah dengan nya, barang kali ada sesak rindu tertahan dalam dada, bukan karena apa-apa, di sanalah ku temukan ketenangan, di sanalah ku temukan kehidupan, di sanalah ku hirup nafas perubahan, disanalah kebahagiaan bersemayam.
Suara sirine dan roda yang berputar membuatku berhenti melangkah. Memutar lagi badanku dan kembali aku menatap gerbong keretaku. Ada yang mengalir dari kedua mata ini. Namun inilah yang harus aku terima. Mimpi mimpi yang sirna, cita yang tak sempurna, Aku tahu, meski tidak ada yang berteriak padaku saat ini, aku tahu disana ada yang mencoba menahan langkahku. Ada yang mengatakan takut. Ada yang masih sakit. Namun disana pula aku tahu telah ada yang lebih kuat untuk menemani perjalanan. Dan telah ada yang merelakan diri untuk menjadi Guider, dan yang perfect dan lebih segala-galanya dariku.
Perjalanan ini harus tetap berlanjut. Siapun nanti yang berada dalam gerbong itu, dialah yang akan menikmati perjalanannya. Dan siapapun yang bersamamu di gerbongmu, semoga ia adalah orang yang kuat bukan sepertiku seorang pecundang, lelaki yang lemah, mudah terjatuh dan suka merepotkanmu, ku akui engkau memang kuat, smart, dan pandai menghibur orang lain, aku salut padamu. Semoga engkau akan mengerti saat-saat indah yang bisa kita nikmati. Bagaimanapun adanya, perjalanan akan tetap berlanjut. Sebagian bekalku telah aku tinggalkan di dalam tasmu, telah aku bagi denganmu. Hanya tinggal sisa-sisa yang tidak mudah habis yang bisa aku bawa (xxxxx). Bila suatu saat nanti engkau membutuhkannya, cukup tekan tombol ”call” di ponselmu, aku siap menemani lagi perjalananmu kapanpun, di manapun.
Roda sudah mulai berputar dengan lambat. Aku menatap gerbong keretaku yang mulai meninggalkan diri yang hanya mematung di tepi rel. Mencoba untuk tersenyum dan menahan kaki agar tetap mampu untuk berdiri untuk meninggalkannya, Bye, see you next time, insya Allah.
Diawal sepertiga malam terakhir. Aku tutup kembali sms dan inbox2 facebook dan mengakhiri untuk mengenang perjalanan denganmu. Meletakkannya kembali di atas meja belajar dan ku tutup kembali laptopku. Semoga akan ada suatu saat untuk tetap saling mencintai dan memberi nafas semangat. Aku sadari banyak yang tak sempurna dari diri ini.
Published: 2013-07-06T12:20:00-07:00
Title:Tentangku tentangmu, Tentang Mimpi Yang tak Sempurna
Rating: 5 On 221210 reviews
Posted by Yonke-Blogger at 12:20 PM
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete