Angin pun Bercerita tentangmu
Teriknya hari ini membuatku melamunkan banyak hal, aku berdiridi tepi Mahattah Darasah, dengan sabar menunggu bus delapan puluh coret, sambil mendengarkan alunan musik di handphoneku, tahukah apa yang ku bayangkan saat itu?
Suara lalu lalang kendaraan, berjubel teriakan orang, terik matahari begitu meyengat, asap angkutan dan bus mengepul, ah, begitu bisingnya suasana terminal, tak kuasa aku menahan kakiku, aku berteduh di sudut mahattah. Aku melamun, iya aku melamun, menikmati suasana yang begitu men-sumpek-kan pikiran, ku pasang earphone ke telingaku, ku perdengarkan musik dengan volume keras, sekeras suara kala itu, suara musik yang ku perdengarkan begitu merdu, membuatku begitu nyaman. Aku pun menikmati masa indah saat menunggu. Terlihat banyak orang sama denganku, gelisah menunggu kedatangan bus yang sering di sebut sebagai “Sang Permaisuri” itu, ada yang memanfaatkan waktu menunggu dengan membaca alqur’an, ada yang sibuk bercengkrama dengan kawannya, ku lihat ibu-ibu yang sibuk mengasuh membiarkan anak-anaknya berlarian, bermain, seraya menunggu kedatangan bus.
Suasana itu mengingatkanku pada sebuah bangunan, sebuah bagunan yang tempat ku meduhkan hati dan fikiran, bangunan yang megah, berdiri tegak dengan dua menara selama ratusan tahun. Entahlah aku selalu ingat hari-hari itu, sudah hampir dua tahun lamanya. Sungguh waktu memang cepat berlalu, sudah dua tahun lebih tapi peristiwa-peristiwa itu begitu melekat di fikiranku yang membuatku tersendat nafas saat ku mencoba mengingatnya kembali, aku sering menceritakan cerita ini tapi tiap kali aku mengingat peristiwa itu, nafasku serasa berat, karena begitu jelas dalam bayangan mataku.
Tentang halaqoh-halaqoh di bangunan itu, tentang anak-anak berlarian di kala matahari tenggelam, tentang kisah para pencari ilmu dari belahan dunia berinteraksi, tempat melamun dan belajar yang begitu tenang. Aku duduk di sana sendiri, iya, sendiri, benar benar sendiri menikmati angin sore memandangi anak-anak kecil berlarian, menemani para pencinta ilmu bercumbu dengan diktat ataupun alqur’an.
Sekarang aku sudah berada di dalam bus yang aku tunggu, duduk berdampingan dengan orang yang tidak ku kenal, aku memilih untuk duduk dalam diam dan terhanyut dalam lamunan. Bercumbu mesra dengan kebisingan mesin, dan berdialog intim dengan semilir angin, yang dengan tegarnya bersatu melawan terik panasnya matahari, bus melaju semakin kencang, tak henti-hentinya aku berdialog dengan sang angin, dan angin pun semakin leluasa untuk menjadi teman perjalananku, lalu ia bercerita kepadaku, tentang hari itu, tentang kisah yang dua tahun yang lalu, tetapi aku hanya menjadi pendengar setia yang tersakiti dan sangat menyakitkan.
“Itu sudah berlalu, tak usah kau bicarakan lagi” Kataku
Angin tetap saja bercerita tanpa peduli kata-kataku, ia tetap menceritakan kisah kisah itu, tentang perjalanan yang pernah ku alami kala itu, dia terus bercerita dan tak mau diam, seperti rekaman recorder yang kembali teputar, setelah ter-recorded dalam file .mp3. Aku mendengarkannya begitu jelas, jelas sekali, seakan dengan ceritanya dapat men undo memoriku waktu itu dengan mudah. Tentang cinta mati yang tak tergantikan, tentang kekaguman yang luar biasa, tentang perasaan sang pecundang, iya pecundang yang bermulut besar, tak punya nyali, takut akan segala resiko dan tantangan, rasa minder yang luar biasa, akulah yang menjadi saksi di bangunan itu, sungguh hari itu sangat menakutkan dan menyiksa bagiku, dan celakanya disana aku sendiri yang melawan diriku.
“Sudahlah cukup!” Pintaku dalam kebisuan
“Bukannya kau merindukan dirinya, Bahak? Tambahnya.
“Tetapi, tahukah kau, apa pernah dia merindukan diriku? Apa pernah ia merasakan seperti yang kurasa?”
“Diam saja kau”
“Dengar Hak, dengarkan ceritaku tentang dirinya, dengarkanlah dengan seksama, ada apa dengan dirinya?” Sergahnya
“Tidak!” Jawabku.
Dia terus saja bercerita, dia terus saja bicara, aku berusaha untuk tidak mendengarkanya, tapi, aku terlanjur terlena dengan ceritanya, dia pembaca cerita yang profesional, dia mampu memerankan isi cerita itu dengan cerdas, dia pendongeng yang penuh perasaan, mampu membuat pendengar hanyut dalam aliran ceritanya. Kali ini dia menceritakan tentang bangunan itu, ia ceritakan detail dengan kenangan-kenanganku disana, kenangan yang bermula dua tahun yang lalu.
“Diamlah!” pintaku
Aku tidak mampu mendengarkan lanjutan ceritanya, aku tak mau mendengarkannya lagi. Dia, entah mengapa begitu banyak bercerita hari ini, kenapa?
“Kenapa engkau takut, Bahak?”
“Bukankah engkau tahu, kau pasti tahu apa yang terjadi dua tahun yang lalu, aku sering seorang diri di bangunan itu, aku sering melamun di situ, ada ketertarikan luar biasa terhadap salah seorang gadis yang sering kulihat membawa tas punggung hitam, bergamis besar, berjilbab anggun, hatinya tertambat pada bangunan itu, setiap kali aku kunjungi bangunan itu, aku jumpai dia sedang membawa kitab dan buku.
“Bukankah engkau tahu, aku cinta mati pada gadis itu”
“Bukankah engkau tahu, aku adalah lelaki pemalu, aku adalah lelaki lemah yang tidak punya sesuatu untuk di bangga, aku seorang yang tidak pandai dalam urusan cinta.
“Bukankah engkau tahu, aku terlalu merindu, terlalu cinta padanya, berhasrat untuk memiliki dia seutuhnya? Jujur gara-gara ketidakmampuanku itu, nafasku hampir habis di sana, dan aku mengira itu adalah nafas terakhir yang mampu ku hirup.
Bus delapan puluh coret sudah mendekati tempat yang kutuju, perlahan ku langkahkan kakiku menuju ke pintu depan supir, Jam’iyyah Syar’iyyah, ala gambi yastho!
“Sudahlah, tak perlu kau ikuti langkahku, tetaplah engkau membersamai bus itu”
Dia masih saja membersamaiku, “aku akan membawamu terbang bersama dirinya” tawarnya.
“Dengarkan aku, Pergilah!”
“Aku tahu engkau masih ingin bersama dirinya bukan?”
“Tidak,Pergilah!” sentakku keras kepala.
“Kau terlalu angkuh Bahak”
Terserah engkau menganggapku apa. Aku memiliki hak atas diriku sendiri, aku mempunyai duniaku yang indah, kau boleh saja tahu tentang masa laluku, tapi kau tak tahu betapa besar rasa harapku untuknya. Kau tak tahu betapa mata hatiku sudah buta karenanya, tak bisa lagi membeda antara mana sayang dan mana benci. Sudahlah kembali saja engkau bersama terik matahari, membersamai malam, menemani mereka yang ada di bangunan itu, itu lebih bermanfaat bagimu dari pada engkau mengikutiku, berdamailah denganku seperti dulu. Cukuplah engkau sampaikah salam sayang padanya bilang padanya “aku masih setia”.
Dan satu yang pasti “Waman yattaqi wayashbir fainnallaha laa, yudli’u ajrol muhsinin”. Hanya itu yang dapat ku lakukan. Wallahu a’lam
Cairo, 12 September 2013
Published: 2013-09-24T23:19:00-07:00
Title:Angin pun Bercerita tentangmu
Rating: 5 On 221210 reviews
Posted by Yonke-Blogger at 11:19 PM
0 comments:
Post a Comment