Kekaguman Yang Tiada Berujung

Ujianku sudah selesai, harapan kedua orang tuaku aku segera pulang melepas kerinduan ini, mengamalkan ilmu yang sudah aku raih selama ini, sudah tujuh tahun aku merantau di negeri ini, jumlah yang tidak sedikit bagi para bujang untuk merantau. Entah mengapa aku begitu menikmati pengembaraan ini, aku merasa tempat perantauan ini adalah surga buatku, bukan karena apa-apa , tapi aku merasa sudah terbiasa dengan lingkungan yang ada, Cinta, tahukah mengapa aku begitu terpaut dengan negeri perantauan ini? Di sana ada ribuan kisah, disana ada banyak cerita yang unik, ada banyak dongeng indah kehidupan yang membuatku betah di sana.



 

Tengah malam, mataku belum juga terpejam, ku lihat bangunan ka’bah begitu mempesona dari sudut jendela hotel tempat aku menginap. Gemerlap lampu malam, terlihat begitu anggun mempesona, lengkap dengan megahnya masjidil haram di sekililingnya, ribuan umat bertalbiah, melakukan thowaf mengelilinginya ka’bah dengan pakaian yang satu, pakaian ihram, pakaian sederhana yang tidak bernuansa kesombongan sedikitpun, inilah ajaran agama islam sesungguhnya, persamaan antar satu dengan yang lainnya, tanpa sedikitpun sekat pembedaan kecuali rasa takut kepada Yang Kuasa. Untuk malam ini insomnia mulai menyerangku, mungkin karena hari ini aku terlalu capek, berfoto mengabadikan momen di sekeliling ka’bah. Ka’bah? Iya cinta, kali ini aku berada di tanah suci, maaf aku tidak mengabarimu tentang kepergianku di tanah suci ini, aku hanya ingin melepas kerinduan akan tanah ini, seumur hidup baru kali ini aku bisa menginjakkan tanah suci ini, aku takut kehilangan kesempatan ini, toh dimana-mana kesempatan belum tentu datang untuk kedua kali. Oh iya cinta, aku dengar dalam waktu dekat ini, engkau juga akan berziarah ke tanah suci ini, ahlan wa sahlan wa marhaban bihudlurik.

 

Maaf, aku tak berani menelpon atau mengirim sms untukmu, karena aku tahu, kamu pasti nggak enak hati kalau ada sang bujang yang mengusik ketenanganmu, aku tahu dirimu sibuk konsentrasi dengan murojaah alqur’anmu, jujur, aku tak ingin mengganngumu. Bila sempat mungkin minggu depan ku tunggu kedatanganmu dekat pintu gerbang masjidil haram, akan aku usahakan untuk menemuimu disana, meski aku tak yakin dirimu akan datang menemuiku.

 

Ada begitu banyak alasan mengapa aku pergi ke tanah suci, pertama menggugurkan kewajibanku yang sudah terkena taklif, alasan kedua karena aku ingin menambah pengetahuanku tentang haji, karena bagiku percuma saja belajar fiqih haji tanpa mengetahui prakteknya dan belum pernah berkunjung ke sana. Ketiga karena aku ingin menemuimu. Namun aku tak yakin dengan pertemuan kita, aku tak yakin kita akan berjumpa di sana. Ternyata keadaan yang sebenarnya jauh seperti yang kita bayangkan sebelumnya, karena di tanah suci kita di tuntut untuk murni melaksanakan ibadah, kepasrahan total hanya kepada Sang Kuasa. Dan alasan yang terakhir, tahukan kamu, cinta, aku Cuma berkhayal, saat ini aku tidak sedang berada di sana, aku masih di sini, di Cairo, di kos-kosan dengan aktifitas yang monoton dan menjemukan tanpa sesuatu yang baru.

 

Cinta, seharusnya di usiaku yang ke 25 ini pengembaraan di negeri orang sudah seharusnya aku selesai dan pulang ke kampung halaman, tapi seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, ada kisah-kisah manis yang membuatku merasa nyaman di negeri rantau ini. Aku ingin mengatakan ini dari hati ke hati, suatu saat di tempat yang indah dan nyaman untuk ngobrol berdua, tapi lagi lagi aku tak yakin dengan pertemuan kita

 

Di tempatku tahfidz, aku mempunyai teman, kita sering memanggilnya dengaan panggilnya Abu Zain, ia terlahir Kafif, tidak bisa melihat dengan mata, ia terlahir buta. Meski terlahir dengan kekurangan tidak menghalanginya untuk rajin menyetor hafalan, bahkan hafalannya lebih kuat dari pada kita yang notabene di karuniai mata untuk melihat, kemaren aku ketemu dengannya, dan menanyakan kenapa engkau berhenti dan tahukah cinta, aku takjub sekali ketika dia padaku, kholastu alhamdulillah.

 

Cinta, terkadang perjalanan hidup ini terasa berat, bila harus mengingat perjalanan yang kita lalui begitu sulit, kadang memang kita di tuntut untuk mampu menahan gejolak hati yang membuat diri frustasi, hanya saja kita di lahirkan berbeda untuk menjalani romansa kehidupan ini, dengan roda yang berbeda yang membuat hidup ini senantiasa berputar, ada saat dimana kita merasa lemah dengan keadaan kita, rasa membutuhkan rasa kasih sayang dari orang terdekat kita begitu kuat, di titik inilah klimaks kejenuhan dan kejemuan datang, engkau mungkin bertanya mengapa orang buta saja bisa menghafal dengan waktu yang singkat, itu karena mereka menyadari bahwa mereka itu lemah, dengan begitulah mereka berusaha untuk bertahan dalam kekurangan, Cinta,  tetaplah menjadi orang yang kuat disaat kita lemah, dengan begitu kejenuhan dan komitmen akan terbedakan jelas. Kejenuhan itu manusiawi, tergantung bagaimana cara kita mengelola kejenuhan itu. Bukankah waidza faroghta fanshob, itu salah satu solusi agama kita.

 

Hari ini aku ingin berbagi cerita, bukan semangat atau motivasi yang ku bagi, karena aku sendiri sedang di landa kejemuan, aku sedang kehilangan bara semangat yang membuat aku tenang, dan kebijaksanaan yang membimbing langkahku. Cerita ini ku temukan di bumi rantau, ku temukan di berbagai momen dalam perjalananku.

 

Aku yakin, kamu tidak asing lagi dengan cerita ini, karena ia terjadi di sekeliling rumahmu dulu, kamu tentu sering menyaksikannya dengan mata kepalamu. Beberapa hari yang lalu saat aku lewat samping rumahku, aku melihat ibu tua dengan gigihnya menjual gas elpiji, ibu tua itu terlihat kuat layaknya lelaki mendorong gerobag elpiji dengan 4 tabung elbiji. Ini tentang ketangguhan seorang ibu dalam mengemban tugas yang seharusnya di lakukan oleh lelaki, dan berkaitan erat dengan feminisme yang selalu di gembor-gemborkan oleh sebagian kalangan.

 

Tetapi kenyataan yang kulihat hari itu telah membuktikan bahwa itu terjadi pada realita dimana kita tinggal, tidak di negeri rantau tidak juga di negeri kita sendiri. Mereka yang berpanas-panas demi sepeser recehan, demi kehidupan keluarga yang layak.

 

”Bukankah itu pekerjaan laki-laki?” katamu menyanggah.

”Siapa yang peduli itu pekerjaan laki-laki. Masa sudah berbeda. Bukannya zaman sekarang adalah zaman anti emansipasi”

”Tapi tidak semua harus sama.” Kau mungkin dapat membela.

”Sama saja. Laki-laki dan wanita boleh sama-sama duduk di kursi DPR. Wanita saja boleh jadi presiden. Laki-laki boleh jadi koki. Lantas kenapa kau heran melihat wanita menjadi penjual tabung ambubah keliling?” sanggahku merespon pembelaanmu.

 

Bagiku tidak seperti itu Cinta. Kadang aku berfikir inilah ketidak adilan. Aku masih berfikir ini sangat tidak adil. Saat ku Tanya, leeh inti bitabi’ina el ambubah dzi? Tanyaku. Malisy da’wah bi hagat dzi? Zogi ma’darsyi fil amal wa mahaddisy biyusa’idni. Tersentuh dengan jawaban ibu itu. Seperti itu lah realita kehidupan di sekitar kita, tanggung jawab yang seharusnya di bebankan oleh lelaki, tetapi bahkan aku terkadang tidak percaya dengan mulut manis tokoh-tokoh feminism, mereka berkoar-koar dengan persamaan antar gender, mereka menuntut hak dan kewajiban yang sama, tetapi ketika keaadaan tidak sesuai dengan teori versi mereka, mereka diam seribu bahasa. Aku katakan, Islam itu agama yang indah, pembedaan antara lelaki dan perembuan dalam hal-hal tertentu itu sesuai dengan Kodrat yang telah di berikan Tuhan kepada hamba-Nya, bagiku itu yang lebih masuk akal dari pada, metafora metafora yang di bungkus manis dengan label emansipasi ataupun feminism, Islam sudah mengenal feminism dan anti-emansipasi jauh sebelum kalangan barat menggembor-gemborkan feminism.

 

Aku sering berkunjung di rumah kawanku, ia sekarang mempunyai satu putra kecil, putra yang imut, aku senang sekali melihatnya, bahkan tak jarang aku mencubit pipinya karena saking unyu-unyunya. Pertama aku sering datang kesana karena mereka selalalu welcome dengan kedatanganku, dan yang kedua karena buat ku mereka ada tipe keluarga yang romantis, keluarga kecil yang islami, bayangkan saja, dengan bermodalkan pas-pasan sebagai pegawai math’am, beban yang mereka tanggung seolah tiada mereka rasakan. Bahkan masih sempatnya mereka menyisakan sedikit uang untuk tabungan masa depan. Istrinya pun menerima apa adanya keadaan suaminya, ku lihat syaqoh yang di sewanya pun syaqoh yang sederhana tidak muluk-muluk, satu kamar, satu dapur, dan satu kamar mandi, begitulah cinta yang di landasi ketaqwaan, benar-benar keluarga yang menyejukkan hati dan mata.

 

Ini tentang kawanku yang lain, tiap hari ia di sibukkan dengan pekerjaan siang dan malam, ia bahkan tidak tidak punya waktu untuk hanya sekedar berkumpul bersama dengan anak dan istri, dari pernikahannya ia di karuniai tiga orang anak, di satu sisi ia seorang ayah bagi anak anaknya di satu sisi ia seorang mahasiswa jurusan syariah islamiyyah tingkat 3. Tahukah engkau, ia putus kuliah, dan tidak ku dapati ia sukses ekonominya, ia rugi dua kali, ia rugi karena tidak mendapat ilmu, dan ia rugi karena tidak mampu dalam mencukupi keluarganya dengan kebutuhan pokok.

 

Bukankah fenomena-fenomena ini sering terjadi di sekeliling kita cinta, tidak terbayangkan betapa banyak fenomena yang akan kita jumpai di kehidupan kita kelak, di masyarakat kita kelak, di desa kita kelak, kampung kecil yang jauh dari peradaban. Dulu kau sering bercerita tentang fenomena keluargamu fenomena lingkungan sekitarmu. Tapi akhir-akhir ini tak pernah ku dengar kabarmu, meski hanya untuk miskol atau mengirim SMS, engkau hanya mengirimkanku sinyal sinyal yang tidak ku mengerti maksudnya.

 

Cinta, masih setiakah engkau menantiku di batas waktu? Aku hanya butuh waktu, tak lebih, terkadang aku takut dengan keadaan yang sekarang. Tapi ku yakin, Tuhan mempunyai skenario yang indah, dan lebih tau yang terbaik pada diri hamba-Nya ,tak usahlah engkau terlalu memikirkan masalah itu, bersungguh lah dalam studymu, fokuslah dalam menjalani aktifitas belajarmu. Tak perlu engkau beradu pada ketidakpastian. Jalani takdirmu dengan penuh kesungguhan, cerita-cerita itu merupakan bagian dari instrumen kehidupan, yang ada di sekitar kita, dan akan engkau hadapi suatu saat nanti. Jangan menjadikan engkau bersedih, jadikanlah ia lahan untuk berdakwah nanti. Jika Allah menghendaki,suatu saat nanti kita akan bangun, keluarga kecil, damai, indah penuh kebijaksanaan dan kebahagiaan yang tiada tara. Hanya itu impian indahku.

 

Cairo, 20 Sept 2013

Kekaguman Yang Tiada Berujung Hack4rt Blog
Published: 2013-09-24T23:24:00-07:00
Title:Kekaguman Yang Tiada Berujung
Rating: 5 On 221210 reviews

Anda suka dengan artikel ini? bagikan :

0 comments:

Post a Comment

Sedikit Kata Tentang Saya

Bahak, Blogger dan pecinta Islamic Economies. Asli Warga Rembang, Jawa tengah, tinggal di Cairo, Egypt (walaupun sampai saat post ini dibuat, yang bersangkutan belum mempunyai KTP Mesir). pendiem, ceplas-ceplos, tidak terlalu bertanggung jawab, dan sangat menyukai gadis berjilbab besar (kalo tak ada yang gadis, janda juga ndak papa)

 
/* Hargailah Si Pembuat Template Dengan Tidak Menghilangkan Credit Di Bawah Ini Bikin Template Susah Bro..!!! */