Katakan Kita Salafi, Bukan Aku Salafi
Ada suatu yang aneh saat saya browsing, seketika saya ter-forwarding ke URL, saya dapati URL itu menganggap apa yang mereka sebut sebagai jamaah tabligh adalah sesat, bid’ah lalu saya baca, kemudian saya berfikir, dimana letak kesalahan jamaah tabligh? Dan kenapa di situs itu cenderung inklusif, dan setiap apa yang tulis musti di anggap sebagai kalam sakral yang musti di terima. Hampir saya tidak percaya dan terkesan lucu saja membaca artikel di situ, hal inilah yang membuat saya ingin mengulas siapakah salafi?
Secara bahasa kalimat salaf berasal dari fi’il madli salafa yang bermakna zaman dahulu, alias periode waktu yang lebih dulu dari pada kita, namun makna ini mengalami pergeseran makna ketika kita berbicara tentang zaman atau kondisi sebaik-baiknya zaman, yang pernah di nash Rasulullah sebagai mercusuar bendera Islam
Benar memang Salaf atau salafi adalah sebuah periode terbaik yang pernah dimiliki oleh islam, karena hal ini telah di nash oleh Nabi sendiri, “sebaik-baiknya manusia adalah setelahku (Nabi) dan golongan selanjutnya, kemudian selanjutnya lagi” lantas apa yang di maksud dengan salaf? Lantas siapa mereka, apakah mereka hanya segelintir golongan tertentu pada zaman itu, atau mereka adalah kaum muslimin yang hidup pada waktu itu? Menurut jumhur ulama’ mereka adalah orang-orang tertentu yang berbeda tingkatannya masing-masing.
Kemudian timbul sebuah pertanyaan, kenapa mereka bisa di kategorikan sebagai marhalah zamaniyyah terbaik? Tentu karena mereka lebih paham dan tahu tentang ajaran islam yang sebenarnya, karena kedekatan mereka dengan zaman ketika Nabi di utus atau zaman Risalah, yang terdidik langsung oleh madrasah nubuwwah, yang mana membuat keberagamaan mereka sangat kuat.
Keistimewaan seperti itulah yang menjadi keharusan bagi kita untuk mengikutinya, seperti sabda Nabi, tentang terpecahnya Bani Israil menjadi 72 dan Umat islam terbagi 73 bagian, semuanya masuk neraka kecuali satu yaitu ma ana ‘alaihi wa ashhabi (golongan yang saya dan sahabat saya ada pada padanya) lalu bagaimana kita mengikuti mereka? Apa kita mengikuti dengan serta merta apa yang dilakukannya secara persis, mulai dari cara makan, minum, berpakaian, bermualah, dsb tentu jawabannya tidak, tetapi kita mengikuti apa yang kita sebut sebagai manhaj atau sebuah kaidah karena bagaimanapun mengikuti mereka bukan karena mereka sebagai orang dahulu, tapi karena kepandaian mereka dalam menafsiri agama islam yang masih hangat, langsung dari Nabi.
Jelas sekali salah ketika kalimat salaf perspektif al ‘shur tsalatsah (tiga periode setelah Nabi) di artikan sebagai golongan tertentu yang mempunyai kriteria khusus yang terkesan berbeda dengan umat muslim pada umumnya, sampai akhlak yang mereka miliki berbeda dengan umat islam kebanyakan, lantas kita bertanya, bagaimana kita mengikuti mereka para tiga golongan itu?
Mengikuti manhaj yang dilakukan oleh mereka, itulah jawabannya. dalam hal ini kita sebagai umat islam tentu sepakat dalam penerapannya, karena umat islam dari zaman Nabi sampai zaman kita ini semuanya mengikuti manhaj yang satu yaitu alqur’an dan alhadist yang telah di gariskan oleh para ulama hingga sampai zaman kita sekarang, lantas kenapa ada perbedaan antara yang salafi dengan yang non salafi (dalam kontek kini)?
Kaum muslimin semuanya berpegang pada dalil alqur’an dan al hadist, yang di ambil dengan menggunakan ilmu alat seperti nahwu, shorof, balaghoh, dan yang terutama yaitu ushul fiqih, bahkan usul fiqih itu sendiri mengalami perkembangan sesuai dengan zaman misalnya tentang konsep masholihul mursalah antara imam syafii dengan imam Malik.
Tidak sedikit pendapat salafi yang masuk dalam kategori ijtihadiyah, seperti tentang dzikir berjamaah, tentang tawassul, tentang mengangkat tangan saat berdoa, menyebut kalimat Allah saja saat berdzikir, tapi oleh mereka orang-orang yang berbeda di anggap sebagai bid’ah, atau bahkan sebagian lagi ada yang dianggap kafir. na’udzu billah min dzalik, madzhab seperti apa ini, dalam konteks ijtihadiyyah koq masih menganggap sebagai Tuhan yang berhak menvonis pendapat orang lain sebagai sesuatu yang pantas di anggap salah, bahkan Nabi sendiri menjamin pendapatnya orang mujtahid yang salah ahobahu ajrun.
Mungkin perbedaan yang sangat mencolok sekali ketika kita melihat penafsiran tentang ayat-ayat mutasyabihat, kaum salafi cenderung menafsirinya dengan harfiahnya saja tanpa berani menta’wil atau menafsirinya, saya katakan dalam hal ini juga masih dalam kontek ijtihadiyyah, karena bagaimanapun kalau kita kaitkan dengan zaman dahulu, zaman Nabi dan setelah-setelahnya itu, belum adanya futuhatul islam atau perluasan Negara islam dan masih sedikit musuh-musuh islam yang senantiasa menyerang islam baik itu dari sumber-sumbernya maupun dari individu, termasuk yang asyik menjadi obyek penyerangan yaitu sifat mutasyabihat ini, lantas apakah kita sebagai umat islam diam saja? Tentu tidak, kita pasti akan tetap memperjuangkan agama kita, saya katakan hal itu masih bisa di terima asal masih dalam koridor tanzihul ilah ‘amma la la yaliqu bih (menghilangkan sifat yang tidak layak bagi Allah)
Jadi kesimpulan yang dapat saya ambil adalah, selama kita masih dalam ranah atau konteks furu’iyyah dan ijtihadiyyah kita harus bisa bertenggang rasa satu antar yang lain, saling berpegang tangan dalam ranah ushul pokok yang telah di sepakati dan tentu tidak dengan serta merta memaksakan pendapat yang bersifat ijtihadiyyah, semuanya ada yang benar dan ada yang salah, selama mereka ada landasan yang di jadikan pijakan yang sesuai dengan Al qur’an dan Al hadist, dan pokok yang telah disepakati, semua salafi, bukan akulah salafi. Wallahu a’lam
Published: 2009-12-06T13:41:00-08:00
Title:Katakan Kita Salafi, Bukan Aku Salafi
Rating: 5 On 221210 reviews
POSTINGAN LAIN YANG MUNGKIN ANDA SUKA
Posted by Yonke-Blogger at 1:41 PM
Pertamaax....
ReplyDeleteselamat sore, salam kenal. makasih dah mampir blogku ya
mmm nganu... user komennya ditambahi biar bisa pakai nama sama url blog.
ReplyDeletepermasalahan saling menyalahkan antar golongan tua dan yang muda pernah saya tulis juga di blogku lho mas!
ReplyDeletekiranya ayat yg berbunyi wa qaalat ukhrahum li uulaahum rabbana haaulaai adlolluuna 'adzaaban di'fan fi al-nar...dst itu lebih pas dengan kondisi perdebatan antar golongan tersebut dimana tiap orang pasti punya kesalahan likullin dli'fun wa lakin la ta'lamun.. gmana mas menrt sampean?
kalau di umpamakan seperti itu saya kira itu terlalu berlebihan, kerena ayat yang anda bicarakan itu, tepatnya ala'rof 38 itu menjelaskan kondisi orang yang menyekutukan Allah, kurang lebih begitu, kalau menurut saya, mungkin karena (maaf) dangkalnya keberagamaan mereka, yang mana mereka belum banyak membaca karya ulama2 lain, mereka hanya membaca karya yang menurut mereka adalah mu'tamad.... dari sinilah timbul rasa ta'assub dan tak mendengarkan pendapat orang lain, wallahu a'lam mungkin sampeyan punya pendapat lain...
ReplyDeletehalo apakar pojok kairo..! mojoknya dimana nih :)
ReplyDelete